Berkompetisi dengan inspirasi. Mungkin ungkapan tersebut yang tepat bagi para pengrajin gerabah di Desa Wisata Kasongan, Bangunjiwo, Bantul, Yogyakarta.
Untuk bisa 'mencuri' pasar kerajinan yang cukup banyak pemainnya, maka Nita, pengrajin asal Plered pun selalu mengandalkan inspirasinya. Berbekal inspirasinya itu, Nita pun bisa menangguk omzet hingga ratusan juta setiap bulannya.
Nita, mengawali usahanya di Plered setelah pindah ke kawasan ini sejak tahun 1999 silam karena tertarik pasarnya yang bagus dibandingkan kota asalnya tersebut.
"Pasarnya lebih bagus di sini. Di sana (Plered), jarang banyak orang luar (asing). Kalau dibandingkan, di sana bisa untung 20%, kalau di sini bisa 80%," ujar perempuan kelahiran 15 Mei 1971 ini kepada detikFinance akhir pekan lalu di Bantul, Yogyakarta.
Modal awalnya sendiri berasal dari para pembelinya terdahulu. Kemudian, untuk meningkatkan produksi dan keuntungan, dia mulai meminjam kepada bank.
"Tambah order, kita cari dana, awalnya Rp 20 juta, Rp 60 juta, Rp 80 juta, masih ke bank," ujar ibu 3 orang anak ini.
Dari modal tersebut, Nita memperoleh omzet bisa mencapai Rp 100 juta per bulan dengan variasi harga dan jumlah pesanan yang berbeda-beda tiap harinya.
"Kita produksi tergantung pesanan walaupun ada beberapa yang dibuat untuk stok. Kalau ramai seneng, kita buat banyak, tapi kalau lagi sepi,kita kurangi produksinya," jelasnya.
Karyawan yang membantu Nita memproduksi kerajinan dari gerabah ini setiap harinya berjumlah 9 orang. Namun, jika pesanan sedang menumpuk, dirinya dan suami menyewa beberapa karyawan borongan. Uniknya, Nita hanya mempercayakan produksi gerabahnya di tangan para pemuda dari daerah sekitar.
"Kalau banyak ya diperbanyak orangnya, kalau sedikit dikurangi. Tapi harus dari sini karena tidak tahu kenapa mereka punya nilai seni yang baik dibandingkan ngambil orang di luar daerah. Dan setiap orang pegang beberapa model (keahlian) nya sendiri," jelasnya.
Untuk bersaing dengan para pengrajin lain di daerah ini, Nita mengaku harus berpacu dengan inspirasi untuk menciptakan model-model baru agar berbeda dengan yang lain.
"Motif-motifnya jangan sampai sama dengan orang lain. Kita bikin motif baru, baru dipasarkan kepada para tamu. Tapi harus bikin model baru lagi karena di sini pasti cepat ditiru oleh yang lain," ujarnya.
Nita merupakan pengrajin spesialisasi model primitif. Inspirasinya berasal dari cerita-cerita tempo dulu bahkan zaman purbakala.
"Inspirasinya motif primitif, kalau nggak begitu orang nggak senang. Apalagi yang ada ceritanya. Seperti bentuk Budha, kan bisa banyak model, dan itu ide saya dan bapak," tegasnya.
Dengan ide originalnya itu, Nita bisa memasakan kerajinannya di pasar nasional dan internasional. Para pembeli ada yang kontinu memesan kerajinan gerabahnya yang harganya berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 400 ribu.
"Pasar lokal itu di Jakarta, Bali, Surabaya, di Sumatera ada Bengkulu, Jambi, di Kalimantan ada Pontianak, kalau luar, kita ada Jepang, Australia,dan Belanda," jelasnya.
Nita mengatakan bahan baku gerabahnya sendiri berasal dari kawasan ini. Jadi tidak ada kendala sedikit juga mengenai bahan baku. Setelah mendapatkan bahan baku, Nita tinggal bekerja keras untuk menciptakan model yang unik.
Kemudian, dia membuat desainnya lalu membuat cetakannya. Setelah itu, baru diproduksi massal. Gerabah dicetak kemudian dibakar. Tungku pembakaran yang digunakan Nita masih sangat tradisional dan seadanya. Namun, dengan peralatan tersebut Nita bisa memproduksi gerabah yang bernilai seni tinggi dan diakui di dunia internasional. detik.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment